PERCETAKAN NEGARA: RIWAYATMOE DOELOE

Sejarah nama Percetakan Negara, Jakarta Pusat nggak bisa lepas dari eksistensi perusahaan Percetakan Negara yang ada di situ. Perusahaan yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini sudah ada sejak zaman Belanda. Meski sudah berusia 2 abad lebih, perusahaan ini masih kokoh berdiri dengan nama Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).

Sebelum menjadi PNRI, nama perusahaan ini adalah Lands Drukkerij. Perusahaan ini didirikan oleh Belanda tahun 1809. Kalo dihitung-hitung, usianya kini sudah mencapai 201 tahun atau 2 abad lebih. Luar biasa bukan? Padahal nggak jauh dari PNRI, tepatnya di samping penjara Salemba, dahulu ada perusahaan milik negara juga, yakni PN Garam yang sudah berganti menjadi ruko Rawasari Mas.




Foto udara PNRI yang diambil dari atas pada tahun 1926. Berarti saat zaman Belanda dan namanya masih Lands Drukkerij. Pepohonan dan perumahan berada di seberang Lands Crukkerij. Coba perhatikan, masih banyak sawah di belakang percetakan itu.


Pada tahun 1942, Lands Drukkerij berganti nama menjadi Gunseikanbu Inatsu Koja (GIK). Pasti Anda sudah tahu mengapa namanya berbau Jepang? Ya, karena pada tahun tersebut Jepang menguasai Indonesia. Siapa yang berkuasa, dialah yang berhak merubah nama. Nggak heran begitu Jepang menyerah dan Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, nama perusahaan ini berubah lagi menjadi Percetakan Republik Indonesia (PRI). Sejak tahun 1991, melalui sebuah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 Tahun 1991, namanya menjadi PNRI dan menjadi sebuah Perusahaan Umum (Perum) milik negara.

Seiiring perkembangan penduduk, bermunculanlah pemukiman penduduk di sekitar Perum PNRI. Kalo sebelumnya rumah yang berkembang ada di depan Perum PNRI, belakangan di tahun 60-an, muncul rumah-rumah di belakangnya. Padahal pada tahun 1924, di belakang perusahaan masih banyak sawah. Sementara di seberang Perum PNRI, meski muncul perumahan penduduk, pohon-pohon besar masih tumbuh.

Sejak dulu, Perum PNRI memang agak tertutup. Maksudnya, nggak semua orang atau institusi bisa sembarangan masuk ke dalam gedung. Maklumlah, di Perum PNRI ini banyak cetakan dokumen atau produk informasi negara yang top secret alias rahasia, bo! Memang sih Perum PNRI ini tugasnya adalah usaha di bidang percetakan, dan jasa grafika, dan belakangan multimedia. Namun, nggak semua orang bisa mencetak di perusahaan ini. Sesuai Peraturan Pemerintah RI No.133 Tahun 2000 Pasal 7, maksud dan tujuan perusahaan ini cuma melaksanakan dan menunjang kebijakan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional dengan cara mengadakan usaha di bidang percetakan. Belakangan sesuai dengan perkembangan zaman, Perum PNRI melayani juga produk percetakan umum yang diterima dari BUMN, swasta maupun masyarakat luas pada umumnya.


Rumah Bersalin Melania yang berada di ujung jalan Percetakan Negara, tepatnya di 'Jembatan Serong'. Melania termasuk salah satu gedung tertua di jalan Melania, karena didirikan tahun 60-an. Melania didirikan oleh istri P.K. Ojong, almarhum yang turut mendirikan harian Kompas.


Saat ini harga di sekitar Percetakan Negara per meter sudah mencapai Rp 4 juta/ m2. Meski padat, ternyata masih ada kaveling tanah yang relatif besar di situ. Luas tanahnya 850 m. Namun sayang, tanah ini nggak bisa Anda miliki, karena Cuma punya sertifikat Hak Guna Bagunan (HGB). Males banget nggak sih mengeluarkan uang senilai Rp 3,4 miliar cuma buat tanah yang HGB? Kalo saya sih lebih suka duit itu dibelikan rumah yang ada di dekat rumah saya di Kompleks Cempaka Putih Indah.
Panjang jalan Percetakan Negara sekitar 1 km, terbentang mulai dari rel kereta api yang membelah jalan Percetakan Negara dan Salemba, sampai di ujung depan rumah bersalin Melania, Jakarta Pusat, tepatnya di lokasi bernama ‘jembatan serong’. Sekadar info, rumah bersalin Melania berada di kompleks Melania, dimana di situ ada sekolah TK-SD-SMP Melania. Oh iya di situ juga ada Sekolah Tinggi Driyakara (STF) yang sejak tahun 1973 berdampingan dengan Melania.


BIOSKOP JOTET DAN TPU KAWI-KAWI

Selama dua abad, jelas banyak sekali perkembangan yang terjadi seputar Percetakan Negara ini. Sawah-sawah yang dahulu menjadi ladang buat mencari makan penduduk sekitar situ, berubah menjadi perumahan. Selain perumahan, ada Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang sudah ada sejak tahun 60-an sampai kini masih eksis. TPU ini bernama Kawi-Kawi. Lokasi tepatnya di Keramat Sentiong, Johar Baru, Jakarta Pusat.
Pada Maret 2009 lalu, jalan Percetakan Negara sempat ngetop. Pasalnya ada berita terbongkarnya klinik aborsi di jalan Percetakan Negara II. Nama pemiliknya adalah Junatun alias Atun alias Bidan Sisca. Di rumahnya yang menjadi tempat praktek aborsi itu, ia nggak cuma menyembunyikan janin hasil aborsi ke saluran air yang didesain khusus, tetapi menguburkan ke TPU bagi janin yang usinya sudah lima bulan. Nah, nama TPU Kawi-Kawi sebagai lokasi penguburan juga ikut terbawa.

Di belakang Perum PNRI dahulu juga ada bioskop. Nama bioskopnya Jotet. Jotet sebenarnya sebuah singkatan. Kepanjangan Jotet adalah Johar Baru Teater. Dahulu kalo saya nonton, ada dua pilihan bioskop. Kalo nggak Jotet, ya Tawang Teater yang berlokasi di jalan Pramuka, Jakarta Timur. Sayang, kedua bioskop itu sudah nggak beroperasi lagi. Tawang Teater sudah berubah menjadi hotel Mega. Sementara itu, bioskop Jotet belum dijadikan apa-apa. Struktur bangunannya masih tegap berdiri, bahkan jalur antrean tiket masih dibiarkan berdiri di situ. Entah kenapa bioskop itu dibiarkan begitu saja, nggak dioperasikan, nggak pula dirubah menjadi bangunan lain.


DIRJEN POM

Di sepanjang jalan Percetakan Negara masih tersisa beberapa bangunan tua. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), misalnya. Bagunan depan BPOM memang masih menggunakan arsitektur art deco.

Sekadar info, sebelum tertulis nama BPOM yang ada di depan gedung, lembaga ini menjadi salah satu seksi di bawah Departemen Kesehatan (Depkes), yang bertugas mengawasi pengawasan obat dan makanan. Namun berdasarkan Keppres Nomor 166 Tahun 2000 dan Nomor 103 Tahun 2001, barulah seksi ini menjadi BPOM.

Nggak banyak pengalaman saya yang bisa saya share soal BPOM ini. Sebab saya nggak pernah masuk ke dalam kompeks gedung BPOM, karena memang nggak ada kepentingan buat masuk. Ngapain juga berurusan dengan security cuma gara-gara dicurigai teroris yang mau menyusup BPOM? Yang bisa saya share paling-paling cuma tugas BPOM ini. Selain mengawasi obat dan makanan, lembaga ini memiliki kewenangan buat memberi izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. Lembaga ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden.


RUTAN SALEMBA

Di sebarang jalan BPOM, ada bangunan tua lain yang juga masih difungsikan, yakni Rumah Tahanan Negara alias Rutan. Rutan ini adalah Rutan kelas 1 yang merupakan salah satu unit pelaksana teknis pada jajaran Direktorat Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Rutan yang ngetop dengan sebutan Rutan Salemba atau Penjara Salemba ini berdiri di tanah seluas 42.132m2. Rutan ini didirikan pada zaman Hindia Belanda pada tahun 1918. Saat itu masyarakat Jakarta menyebut penjara ini dengan sebutan Penjara Gang Tengah.

Sebelum tahun 1945, Penjara Gang Tengah digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda buat menahan warga pribumi yang melakukan pelanggaran hukum Kolonial Belanda. Barulah setelah tahun 1945, yakni saat Indonesia merdeka, kepemilikan penjara ini diserahkan pada Pemerintah Republik Indonesia. Sejak saat itu, nama Penjara Gang Tengah berganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan Salemba (LPS).

LPS nggak lagi menampung warga pribumi yang melanggar hukum Kolonial Belanda, tetapi buat menampung atau menahan para tahanan politik (tapol), tahanan sipil, tahanan kejaksaan, serta koruptor.

Saat terjadi pemberontakan G30S/PKI, sebagian tahanan atau narapidana dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Lembaga Pemasyarakatan Glodok (sekarang pusat elektronik Glodok) dan sebagian lagi ke kampus AKIP (Akademi Ilmu Pemasyarakatan) yang lokasinya di belakang penjara. Saat ini AKIP berganti nama menjadi Akademi Letigasi Republik Indonesia (ALTRI).

Pada tahun 1967 sampai dengan tahun 1980 LPS dijadikan Rumah Tahanan Militer (RTM) yang khusus menahan tahanan militer di bawah pimpinan Inrehab Laksusda Jaya. Tepat pada tanggal 4 Februari 1980, LPS serta rumah dinas yang dipergunakan oleh Inrehab Laksusda Jaya diserahkan kembali kepada Departemen Kehakiman melalui Kepala Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan IV Jakarta Raya dan Kalimantan Barat, Soekirman SH. Serah terima ini berdasarkan surat perintah Panglima Komando Operasi Pemulihan Kesatuan dan Ketertiban tanggal 9 Januari 1980 nomor: Sprin12/Kepkam/1/1980 dan surat pelaksanaan nomor: Sprin/4 5/KAHDA/1/1980 tanggal 23 Januari 1980.

Sejak tanggal 22 April 1981 LPS dimanfaatkan buat menahan para tahanan wanita pindahan Lembaga Pemasyarakatan Bukit Duri yang pada waktu itu dialihfungsikan menjadi lokasi pertokoan. Tahanan wanita ini menenpati Blok A dan Blok B. Setelah direnovasi pada awal Oktober 1989, LPS mulai diisi oleh tahanan pria dari tiga Kejaksaan Tinggi di DKI Jakarta, yakni Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Kejaksaan Negeri Barat, dan Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.

Oleh karena yang ditahan semakin hari semakin banyak, sementara daya tampung LPS nggak terbatas, maka sejak April 1981 tahanan wanita dipindahkan ke Rumah Tahanan Negara Kelas IIIa Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman RI nomor M.04.UM.01.06 tahun 1983 tanggal 16 Desember 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara, LPS berubah statusnya menjadi Rutan. Penamaan Rutan ini juga bersamaan dengan Rutan-Rutan lain di 274 Lembaga Pemasyarakatan lain yang ada di Indonesia.


SOTO MAK’NYOS DEPAN RUTAN SELEMBA

Di depan penjara Salemba, ada soto ayam yang enak. Letaknya tepat di tikungan samping pos polisi Kayu Awet, Jakarta Pusat. Sotonya enak, bo! Kalo kata Bondan Winarno: mak nyos!

Terus terang sulit membayangkan ke-mak nyosan soto depan penjara ini. Satu hal yang pasti, seperti soto-soto yang rasanya enak, ada racikan bumbu. Dimana bumbu ini dibuat selama enam jam, sehingga menghasilkan kaldu ayam yang berbeda dari soto-soto Madura lain. Yang meracik bumbu aja bangunnya kudu jam 3 pagi sampai kemudian jadi pada pukul 9 pagi. Meski dimasaknya memakan waktu 6 jam, namun bumbu ini bisa tahan sampai 10 hari, bo!

Selain bumbu, setiap soto ditaburi oleh serbuk-serbuk berwarna merah muda, which is serpihan udang. Serpihan udang ini difungsikan buat menggantikan fetsin yang biasa digunakan oleh pedagang soto lain. Kelar meracik bihun dan aneka sayur, baru deh diguyur dengan kuah soto yang merupakan “jimat” dari kenikmatan si soto itu.
Bagi yang doyan ceker, menu lain selain kenikmatan sotonya, yakni ceker ayam. Anda mau makan ceker campur kuah soto doang juga nggak masalah. Mau makan nasi sama kuah aja juga nggak masalah. Yang masalah kalo Anda pinjam mangkok, tetapi nggak makan soto di situ, makannya di tempat lain. Wah, itu namanya kebangetan!

Menurut Supervisor soto Madura depan penjara Salemba ini, Cak Ali, dalam sehari mereka bisa menjual lebih dari 300 mangkok soto. Coba Anda kalikan kalo satu mangkok soto harganya Rp 6.000, maka si pedagang akan meraih keuntungan Rp 1.800.000. Itu baru hitungan kasar. You know what? Menurut Cak Ali, keuntungan kotor soto ini mencapai Rp 5 juta per hari! Anggaplah keuntungan bersih -setelah dikeluarkan buat yang masak (4 orang) dan meladeni pelanggan (4 orang)- adalah Rp 2 juta, maka dalam sebulan akan menghasilkan Rp 60 juta. Itu kalo asumsi 30 hari dalam sebulan dikalikan Rp 2 juta. hari. Kalo setengah aja untung, yakni Rp 30 juta, hidup akan indah berkilau!

Beruntungnya, selama berdagang di pojokan dekat jalan Kayu Awet, soto Madura ini nggak pernah dipalakin oleh preman. Maklum, dekat pos polisi, bo! Memang sih nggak dipalakin, tetapi si pedagang soto tetap ngasih jatah makan ke polisi, yakni makan pagi dan makan siang. Makan malam? Beli sendiri tuh polisi! Masa nggk modal amat?! Lagipula, soto ini cuma datang dari jam 7 sampai jam 2 siang.

Nah, saya sarankan, mending sebelum Anda masuk penjara, karena kasus korupsi atau narkoba, mending cicipi dulu soto Madura depan penjara Salemba ini. Kalo sudah nyicipi, silahkan deh Anda mendekam di dalam sel. Kalo kebetulan Anda kanget makan soto ini lagi dan kebetulan sudah terlanjur di penjara, moga-moga ada Sipir yang baik hati bisa men-delivery service soto Madura ini.


KSATRYA: SEKOLAH TERTUA DI JAKARTA

Di jalan Percetakan Negara Blok D No. 232, ada sekolah tertua. Sekolah ini terhimpit antara toko keramik dan toko kaca. Nama sekolah yang dimaksud adalah Perguruan Ksatrya. Warga sekitar situ biasa menyebutnya Ksatrya aja.


Perguruan Ksatrya, sekolah tertua di Percetakan Negara. Meski sudah diapit oleh toko keramik dan toko kaca patri, sekolah ini tetap eksis.

Sekolah yang posisinya persis di pingir jalan Percetakan Negara ini, didirikan tanggal 3 januari 1951. Ini artinya, sekolah ini sudah lima puluh delapan tahun lebih usianya. Sudah udzur bukan? Meskipun sudah udzur, sekolah ini masih tetap eksis,karena masih banyak orang yang tertarik menjadi pelajar di situ.

Apa yang membuat orang tertaik dari sekolah ini sih? Terus terang, bukan karena sekolah ini masuk dalam deretan sekolah favorit di Jakarta. Masuk dalam daftar 20 sekolah favorit aja enggak, kok. Namun menurut website resmi Ksatrya, sekolah swasta ini masih mempertahankan ciri khas nya, yakni sistem among. Semangat gotong royong dan sistem pendidikan nasional, terus didorong untuk meningkatkan peranan, pertumbuhan, dan tanggung jawab mutu pendidikan. Widih! Kayaknya sempurna sekali ya?


Ini nggak ada hubungan dengan Perguruan Ksatrya, tetapi jalan ini masih terletak di Percetakan Negara. Apa yang menarik dari jalan ini? Sebab jalan ini merupakan 'belokan maut'. Dinamakan 'belokan maut' gara-gara sudah banyak orang yang meninggal di situ, termasuk tetangga saya dalam kecelakaan motor. Lokasinya tepat di depan restoran Adem Ayem.

Ksatrya didirikan oleh beberapa orang, yakni Prof .DR. R.P. Soejono, DR. Sri Sukaesih Adiwimarta, Dra. Hj. Rachma Saleh, H. Johan Waworuntu dan DR. Daud Joesoef. Selain nama-nama itu, ada nama lain yang kebetulan juga sudah meninggal, yakni Sombu Pillay M.Sc (alm), A.T. Effendi (alm), Charul Dt (alm), Zahar Arifin (alm), Drs. Buchri (alm), Boestami Tanjung (alm), Wahab Lubis (alm), Drs. Bemfie Pasaribu (alm), dan Mar’at (alm). Saat ini yang menjadi Dewan Pengurus Yayasan adalah H. Husni Rustam, N. Tisna Widjajadiredja, Sutar, SE MM, dan beberapa staf Sekretariat Yayasan Ksatrya lain.

Terus terang, sedikit banyak saya tahu perkembangan Ksatrya. Maklumlah, sejak kecil saya tinggal di rumah orangtua saya yang kebetulan persis di belakang tembok Ksatrya. Jadi setiap kali pulang sekolah, kegemaran saya adalah manjat tembok Ksatrya dan melihat siswa-siswi Ksatrya yang bersekolah.


SDN CEMPAKA PUTIH BARAT 07 PAGI

Selain Perguruan Ksatrya, ada lagi sekolah yang relatif 'senior' di jalan Percetakan Negara, yakni SDN Cempaka Putih Barat 07 Pagi. Lokasinya di jalan Percetakan Negara no 642. Memang sekolah ini nggak setua Ksatrya. Tetapi setidaknya sekolah ini sudah ada pada saat saya lahir, ya sekitar 40 tahunan lebih lah umurnya.

Lho kok tahu?

Kebetulan dahulu kala, sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) saya lokasinya persis di samping SDN Cempaka Putih Barat ini. Namanya sekolah yang saya maksud adalah Ratih. Bahkan sampai dengan kelas 2 Sekolah Dasar (SD), saya bersekolah di Ratih. Namun sayang seribu kali sayang, bangunan sekolah TK-SD Ratih sudah dibongkar. Sekolahnya sebenarnya masih ada. Seperti apakah sekolah Ratih kini? Nanti saya ceritakan ya. Sabar aja dulu.

Kalo inget TK-SD Ratih ketika masih berlokasi di Percetakan Negara, saya jadi teringat beberapa kejadian. Saya pernah berkelahi dengan salah seorang teman saya yang kebetulan mentalnya agak terganggu. Akhir dari perkelahian, teman saya itu melemparkan penggaris kayu yang cukup besar ke kepala saya. Sudah diduga, darah pun keluar. Beruntunglah penggaris itu mengenai belakang kepala saya, tepatnya di sebelah kiri bawah kepala. Bayangkan kalo mengenai mata, barangkali saya sudah buta untuk selama-lamanya.

Saya masih ingat, Ratih memiliki enam kelas buat siswa-siswi SD, dan dua kelas untuk TK. Nggak kayak SDN Cempaka Putih Barat 07 Pagi yang ada di samping, dimana kelasnya ada yang di bawah dan ada yang di tingkat. Makanya SDN ini dulu dikenal dengan sebutan 'sekolah tingkat'. Oh iya, di belakang pojok sebelah kiri, ada sebuah kantin yang menjual aneka makanan. Salah satu makanan favorit saya waktu itu adalah gemblong dan dadar gulung.

Sewaktu di TK, saya paling suka main perosotan. Tahun 70-an, perosotan masih terbuat dari bahan kayu. Kayunya kayu jati, lho! Nggak seperti sekarang, perosotannya terbuat dari besi atau beton.

Entah di SD lain juga punya kebiasaan yang sama atau enggak, pada saat menjadi siswa SD Ratih, ada kebiasaan bagi-bagi bubur kacang hijau dan susu. Jadi, semua siswa dikumpulkan di lapangan. Kebetulan lapangan TK-SD Ratih cuma sebesar lapangan bulutangkis. Nah, mereka disuruh berbaris per kelas buat dibagikan bubur kacang hijau atau susu. Yang unik cara bagi-baginya, yakni dengan menggunakan gayung dan ember. Hah?!

Seorang guru memegang gayung, sementara di ember telah berisi bubur kacang hijau. Itu kalo kebetulan bubur kacang hijau, kalo susu, ya di ember berisi susu. Nah, siswa-siswa yang antre sudah siap dengan gelas masing-masing. Perlu diingat! Gelas tersebut kudu bawa sendiri. Kalo nggak bawa gelas, ya resiko nggak dapat jatah. Setelah guru menuangkan bubur kacang hijau atau susu ke seorang murid, si murid langsung masuk ke kelas. Tradisi kayak begini terus berlangsung sampai saya keluar dari SD Ratih, pindah ke SD Labs School.

Belum ada Komentar untuk "PERCETAKAN NEGARA: RIWAYATMOE DOELOE"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel