Harga Suara Rakyat



Senin, 30 Maret 2009 | 15:35 WIB KOMPAS. Setengah bulan sudah selembar spanduk terbentang di ujung Jalan Sosio-Humaniora, tepat di pojok gedung Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Spanduk merah itu menandai berdirinya Posko Tolak Pemilu 2009 yang digawangi sekitar 30 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Dari jalan, para pengendara bisa membaca dengan jelas kalimat berhuruf putih yang tertera di atasnya: Apa pun partainya, siapa pun capresnya, kuliah tetap mahal, rakyat tetap miskin.

Inilah wujud konkret kekecewaan sekaligus pesimisme sebagian masyarakat terhadap Pemilu 2009. "Kami yakin, Pemilu 2009 tidak akan membawa perbaikan pada kondisi rakyat. Lebih mungkin justru membuat kondisi lebih buruk lagi," kata koordinator posko, Mutiara Ika P (22), yang Selasa (24/3) siang itu mendapat giliran berjaga bersama dua rekannya, Christina Yulita (20) dan Ganjar K (32).


Posko yang menurut rencana dibuka hingga 31 Maret itu memang selalu berpenghuni di setiap hari kerja. Sesekali tampak pengunjung datang. Para anggota yang mendapat giliran jaga pun dengan senang hati menjawab semua pertanyaan. Mereka juga dengan terbuka melayani setiap perdebatan. "Lha, gimana kita mau yakin akan ada perbaikan nasib? Para politisi yang muncul saja tidak ada yang meyakinkan, ujar Mutiara menjelaskan latar belakang pendirian posko tersebut.


Mahasiswi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) "Veteran" Yogyakarta itu menjelaskan, semua tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh lama yang diduga mempunyai dosa masa lalu kepada rakyat. Di zaman Megawati, misalnya, harga bahan bakar minyak melambung tinggi. Prabowo pun dikenal dekat dengan pemerintahan Orde Baru. Dia juga dicurigai punya peran dalam sejumlah kasus pembunuhan dan penculikan mahasiswa. "SBY, JK, dan Wiranto pun tak lebih baik," katanya.


Masih dalam sudut pandang mereka, tak satu pun dari calon presiden yang mungkin muncul itu yang bisa memperjuangkan perbaikan nasib untuk rakyat Indonesia. Bagi mereka, pemilu tahun ini hanya akan menjadi apa yang mereka sebut sebagai demokrasi semu. "Demokrasi di Indonesia hanya milik kaum elite. Setelah pemilu usai, suara rakyat kembali tidak didengar," kata Ganjar, sambil mengembuskan asap rokoknya.


Bagi mereka, hanya pada menjelang pemilu saja suara rakyat begitu berharga. Para penggede itu sampai rela turun ke jalan dan pasar demi menebar janji, bagi kaos, dan juga uang. Setelah terpilih, semua janji itu terlupakan. Rakyat, lanjut Ganjar, hanya digunakan sebagai pijakan untuk meraih kekuasaan.


Maka, bagi mereka, menjadi "golput" dan mendirikan posko pun merupakan pilihan politis yang tidak terelakkan. Pendirian posko bukan lagi sekadar protes, melainkan diharapkan menjadi sebuah gerakan aktif untuk memulai sebuah perubahan dengan menggalang orang- orang lain yang sepikiran. (IRE)


Belum ada Komentar untuk "Harga Suara Rakyat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel