Globalisasi Krisis: The Less Miserable's
Zely Ariane *
Krisis kapitalisme telah terjadi selama beberapa periode. Namun periode kali ini, menurut Barry Ritholtz, CEO bursa saham Fusion IQ�pembuat software terkemuka AS, merupakan badai ekonomi paling sempurna yang pernah dialami negeri-negeri kapitalis maju. Krisis ini adalah kombinasi dari resesi keuangan, kolapsnya sektor perumahan, krisis kredit, dan deflasi terhadap aset-aset raksasa, yang terjadi di waktu bersamaan.
Nasionalisasi ala Venezuela � Kuba
Esteban Morales, seorang peneliti di Universitas Havana, Kuba, membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa sangat sulit menghindar dari dampak krisis global, meskipun negeri seperti Kuba relatif terlindungi. Demikian halnya dengan Venezuela, yang menurut Petras masih sangat bergantung dari pendapatan ekspor minyak, pasar AS, dan kurangnya diversifikasi ekonomi.
Namun, analisa Reuters pada 8 Oktober 2008 menyatakan bahwa Venezuela tidak akan mengalami banyak pengaruh langsung dari kekisruhan pasar ini. Sebab utamanya karena pemerintah Chavez telah menasionalisasi perusahaan-perusahaan penting (bahkan dalam kondisi sehat/untung) yang dulu pernah berdagang di Bursa Efek Caracas. Selain itu, mereka juga mengendalikan nilai mata uangnya sendiri melalui kontrol terhadap nilai tukar.
Hal itupun berlaku bagi Kuba, walaupun terpaksa hidup apa adanya akibat 40 tahun dalam blokade ekonomi AS. Hingga saat ini, tidak ada penghentian kredit perumahan atau para pensiunan yang kelaparan (bahkan bunuh diri) seperti halnya di AS. Padahal disaat bersamaan, Kuba dihantam oleh badai terburuk sepanjang massa (badai Gustav dan Ike) yang merugikan negeri itu tak kurang dari AS$5 milyar.
Hal ini bisa terjadi karena perusahaan kapitalis (perkebunan, pertambangan, dan perbankan) telah diambil alih oleh pemerintah sosialis Kuba sejak 48 tahun lalu, termasuk tidak berkembangnya ekonomi "derivatif" akibat pajak sebesar 1% yang dikenakan untuk setiap transaksi perdangannya. Hasilnya, dana yang diperoleh digunakan untuk pengembangan berbagai temuan dalam bidang kedokteran, hingga menjadikan Kuba sebagai negeri pengekspor vaksin (dan juga tenaga dokter) paling utama dan paling murah diseluruh dunia.
Nasionalisasi di Venezuela (dan Kuba), tak seperti nasionalisasi sepotong-sepotong yang dilakukan oleh pemerintah AS terhadap Fannie Mae dan Freddie Mac. Nasionalisasi jenis ini, seperti dinyatakan oleh sejumlah pengamat sebagai "sosialisme buat yang kaya", membagi-bagikan kerugian yang diderita oleh korporasi milik elit pada masyarakat.
Di Venezuela, nasionalisasi PDVSA (Perusahaan Minyak Venezuela) dan sejumlah perusahaan vital lainnya (CAN TV/telekomunikasi, Bank of Venezuela, Sidor/pabrik baja, ALCASA/pabrik alumunium, INVEPAL/pabrik kertas, CADAFE/perusahaan listrik, dll) berada dibawah kendali buruh (worker's control/management) dengan berbagai tipenya. Tipe yang paling sering dijadikan referensi adalah pengelolaan ALCASA, INVEPAL dan Cadela-M�rida�anak perusahaan CADAFE, berdasarkan perbedaan dalam hal kepemilikan (negara atau kaum buruh secara langsung) dan pengelolaan bersama antara buruh dengan rakyat setempat.
Di tahun 2007, PDVSA memiliki pendapatan sebesar AS$19 milyar. Sebesar AS$13 milyar langsung diberikan pada FONDEN (Dana Pembangunan Nasional) untuk membiayai program-program darurat rakyat, diantaranya sekolah dan kesehatan gratis, pembangunan pabrik-pabrik pembangkit listrik tenaga matahari beserta alat-alat elektroniknya, penelitian ilmiah dan komputerisasi tingkat sekolah dasar. Sebesar $2-3 milyar masuk ke negara sebagai pajak, dan sisanya digunakan untuk pengembangan PDVSA�misalnya, bersama Rusia, Iran dan Vietnam membentuk berbagai perusahaan bersama.
Jalan keluar semacam ini lah, yang antara lain, membuat mereka paling kecil terkena dampak dari globalisasi krisis: The Less Misarable's.
The Less Misarable's
Apakah dengan jatuhnya harga minyak akan membuat ekonomi Venezuela tumbang? Financial Times, Bloomberg, dan Reuters terpaksa mengakui bahwa Venezuela tampaknya akan baik-baik saja. Reuters mengatakan, Venezuela bisa selamat walaupun kejatuhan harga minyak memukul pendapatannya. AFP melaporkan bahwa kejatuhan nilai yang terlihat di pasar saham Venezuela bernilai kurang dari satu persen, sementara bagi Brazil dan Argentina�dua diantara negeri-negeri Amerika Latin dengan perekonomian terbesar�bernilai belasan persen.
Presiden Hugo Chavez mengatakan bahwa perekonomian Venezuela bisa tumbuh hingga 15% di tahun 2004, ketika harga minyak rata-rata $32,80 per barel, dan terus tumbuh bahkan ketika harga minyak rata-rata lebih rendah dari harga minyak hari ini.
Walaupun demikian, dalam penyusunan anggaran nasional 2009, Chavez mengakui perlunya pengetatan anggaran, menekankan pentingnya mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu: mengakhiri gaya hidup yang ekstravaganza, mengakhiri korupsi, dan tidak terhadap gaji/pendapatan yang luar biasa besar.
Namun, pengetatan tidak berlaku bagi program-program darurat rakyat. Dari AS$76.6 milyar (+/-Rp. 760 trilyun) total anggaran nasional, berbasiskan asumsi harga minyak AS$60 per barrel dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6%, Chavez mengalokasikan AS$9,3 milyar untuk program-program sosial, AS$19.77 milyar untuk pendidikan, dan lebih dari AS$5.58 milyar untuk kesehatan.
Pengetatan anggaran tersebut dilakukan, walaupun cadangan devisa internasional Venezuela (bersih dari hutang luar negeri sejak tahun 2005) saat ini, sebesar AS$40 milyar, bisa membiayai hidup setiap orang lebih dari $1300/kapita. Angka ini adalah yang tertinggi di Amerika Latin pada tahun 2007, ketika cadangan devisa Venezuela baru mencapai $34 milyar. Para analis mengatakan, milyaran dolar dana segar yang dimiliki Venezuela ini dapat menyelamatkan Venezuela dari jatuhnya harga minyak.
[Bandingkan dengan Indonesia (yang lebih kaya bahan mentah) yang hanya mampu membiayai $226/kapita (berdasarkan cadangan devisa saat ini yang tak lebih dari $52 milyar plus $62,103 miliar beban hutang luar negeri!)].
*Koord. SERIAL dan Dept. Pendidikan & Propaganda DHN PPRM
Krisis kapitalisme telah terjadi selama beberapa periode. Namun periode kali ini, menurut Barry Ritholtz, CEO bursa saham Fusion IQ�pembuat software terkemuka AS, merupakan badai ekonomi paling sempurna yang pernah dialami negeri-negeri kapitalis maju. Krisis ini adalah kombinasi dari resesi keuangan, kolapsnya sektor perumahan, krisis kredit, dan deflasi terhadap aset-aset raksasa, yang terjadi di waktu bersamaan.
Nasionalisasi ala Venezuela � Kuba
Esteban Morales, seorang peneliti di Universitas Havana, Kuba, membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa sangat sulit menghindar dari dampak krisis global, meskipun negeri seperti Kuba relatif terlindungi. Demikian halnya dengan Venezuela, yang menurut Petras masih sangat bergantung dari pendapatan ekspor minyak, pasar AS, dan kurangnya diversifikasi ekonomi.
Namun, analisa Reuters pada 8 Oktober 2008 menyatakan bahwa Venezuela tidak akan mengalami banyak pengaruh langsung dari kekisruhan pasar ini. Sebab utamanya karena pemerintah Chavez telah menasionalisasi perusahaan-perusahaan penting (bahkan dalam kondisi sehat/untung) yang dulu pernah berdagang di Bursa Efek Caracas. Selain itu, mereka juga mengendalikan nilai mata uangnya sendiri melalui kontrol terhadap nilai tukar.
Hal itupun berlaku bagi Kuba, walaupun terpaksa hidup apa adanya akibat 40 tahun dalam blokade ekonomi AS. Hingga saat ini, tidak ada penghentian kredit perumahan atau para pensiunan yang kelaparan (bahkan bunuh diri) seperti halnya di AS. Padahal disaat bersamaan, Kuba dihantam oleh badai terburuk sepanjang massa (badai Gustav dan Ike) yang merugikan negeri itu tak kurang dari AS$5 milyar.
Hal ini bisa terjadi karena perusahaan kapitalis (perkebunan, pertambangan, dan perbankan) telah diambil alih oleh pemerintah sosialis Kuba sejak 48 tahun lalu, termasuk tidak berkembangnya ekonomi "derivatif" akibat pajak sebesar 1% yang dikenakan untuk setiap transaksi perdangannya. Hasilnya, dana yang diperoleh digunakan untuk pengembangan berbagai temuan dalam bidang kedokteran, hingga menjadikan Kuba sebagai negeri pengekspor vaksin (dan juga tenaga dokter) paling utama dan paling murah diseluruh dunia.
Nasionalisasi di Venezuela (dan Kuba), tak seperti nasionalisasi sepotong-sepotong yang dilakukan oleh pemerintah AS terhadap Fannie Mae dan Freddie Mac. Nasionalisasi jenis ini, seperti dinyatakan oleh sejumlah pengamat sebagai "sosialisme buat yang kaya", membagi-bagikan kerugian yang diderita oleh korporasi milik elit pada masyarakat.
Di Venezuela, nasionalisasi PDVSA (Perusahaan Minyak Venezuela) dan sejumlah perusahaan vital lainnya (CAN TV/telekomunikasi, Bank of Venezuela, Sidor/pabrik baja, ALCASA/pabrik alumunium, INVEPAL/pabrik kertas, CADAFE/perusahaan listrik, dll) berada dibawah kendali buruh (worker's control/management) dengan berbagai tipenya. Tipe yang paling sering dijadikan referensi adalah pengelolaan ALCASA, INVEPAL dan Cadela-M�rida�anak perusahaan CADAFE, berdasarkan perbedaan dalam hal kepemilikan (negara atau kaum buruh secara langsung) dan pengelolaan bersama antara buruh dengan rakyat setempat.
Di tahun 2007, PDVSA memiliki pendapatan sebesar AS$19 milyar. Sebesar AS$13 milyar langsung diberikan pada FONDEN (Dana Pembangunan Nasional) untuk membiayai program-program darurat rakyat, diantaranya sekolah dan kesehatan gratis, pembangunan pabrik-pabrik pembangkit listrik tenaga matahari beserta alat-alat elektroniknya, penelitian ilmiah dan komputerisasi tingkat sekolah dasar. Sebesar $2-3 milyar masuk ke negara sebagai pajak, dan sisanya digunakan untuk pengembangan PDVSA�misalnya, bersama Rusia, Iran dan Vietnam membentuk berbagai perusahaan bersama.
Jalan keluar semacam ini lah, yang antara lain, membuat mereka paling kecil terkena dampak dari globalisasi krisis: The Less Misarable's.
The Less Misarable's
Apakah dengan jatuhnya harga minyak akan membuat ekonomi Venezuela tumbang? Financial Times, Bloomberg, dan Reuters terpaksa mengakui bahwa Venezuela tampaknya akan baik-baik saja. Reuters mengatakan, Venezuela bisa selamat walaupun kejatuhan harga minyak memukul pendapatannya. AFP melaporkan bahwa kejatuhan nilai yang terlihat di pasar saham Venezuela bernilai kurang dari satu persen, sementara bagi Brazil dan Argentina�dua diantara negeri-negeri Amerika Latin dengan perekonomian terbesar�bernilai belasan persen.
Presiden Hugo Chavez mengatakan bahwa perekonomian Venezuela bisa tumbuh hingga 15% di tahun 2004, ketika harga minyak rata-rata $32,80 per barel, dan terus tumbuh bahkan ketika harga minyak rata-rata lebih rendah dari harga minyak hari ini.
Walaupun demikian, dalam penyusunan anggaran nasional 2009, Chavez mengakui perlunya pengetatan anggaran, menekankan pentingnya mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu: mengakhiri gaya hidup yang ekstravaganza, mengakhiri korupsi, dan tidak terhadap gaji/pendapatan yang luar biasa besar.
Namun, pengetatan tidak berlaku bagi program-program darurat rakyat. Dari AS$76.6 milyar (+/-Rp. 760 trilyun) total anggaran nasional, berbasiskan asumsi harga minyak AS$60 per barrel dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6%, Chavez mengalokasikan AS$9,3 milyar untuk program-program sosial, AS$19.77 milyar untuk pendidikan, dan lebih dari AS$5.58 milyar untuk kesehatan.
Pengetatan anggaran tersebut dilakukan, walaupun cadangan devisa internasional Venezuela (bersih dari hutang luar negeri sejak tahun 2005) saat ini, sebesar AS$40 milyar, bisa membiayai hidup setiap orang lebih dari $1300/kapita. Angka ini adalah yang tertinggi di Amerika Latin pada tahun 2007, ketika cadangan devisa Venezuela baru mencapai $34 milyar. Para analis mengatakan, milyaran dolar dana segar yang dimiliki Venezuela ini dapat menyelamatkan Venezuela dari jatuhnya harga minyak.
[Bandingkan dengan Indonesia (yang lebih kaya bahan mentah) yang hanya mampu membiayai $226/kapita (berdasarkan cadangan devisa saat ini yang tak lebih dari $52 milyar plus $62,103 miliar beban hutang luar negeri!)].
*Koord. SERIAL dan Dept. Pendidikan & Propaganda DHN PPRM
Belum ada Komentar untuk "Globalisasi Krisis: The Less Miserable's"
Posting Komentar