Untuk Arsitektur Ekonomi Dunia yang Baru
Zely Ariane*
Tatanan ekonomi dunia [saat ini] hanya mengabdi pada 20% dari penduduk yang ada, dengan mengabaikan, merendahkan, dan menyingkirkan 80% sisanya.
(Fidel Castro Ruz: dalam KTT G77 12 April 2000)
Delapan tahun yang lalu, dihadapan para pemimpin Negara-negara Selatan, yang tergabung dalam Kelompok 77, Fidel Castro Ruz menyatakan �lima puluh tahun lalu, kita dijanjikan � tak akan ada lagi kesenjangan � dijanjikan roti (kesejahteraan) dan keadilan; tapi hingga saat ini, kita, negeri-negeri berkembang, hanya mendapat penderitaan, kelaparan, dan semakin banyak ketidakadilan.
Tatanan keuangan dunia saat ini, yang lahir di Bretton Woods 64 tahun lalu (1944), sebenarnya sudah kadaluarsa sejak 37 tahun lalu�tepat ketika Amerika Serikat (AS) menghentikan jaminan cadangan emasnya terhadap nilai dolar (1971). Karena sistem yang melahirkan institusi-institusi keuangan global semacam Bank Dunia dan IMF ini, didasarkan pada pemberlakuan Standar Penukaran Emas pada sistem keuangan dunia.
Dalam lampiran atas pidatonya tersebut, Castro mengatakan bahwa, faktor bawaan yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dunia, yang menjadi salah satu pilar kebijakan tersebut adalah: liberalisasi tanpa pandang bulu dalam neraca pembayaran dan perhitungan finansial.
Ketidakstabilan tersebut kemudian disebarkan melalui cara (yang disebut) dampak seretan-gerbong (bandwagon efect). Yakni, melalui kekuatan globalisasi pasar modal yang, dengan cara sedemikian rupa, membuat dampak ketidakstabilan tersebut sekonyong-konyong sudah berada di hadapan muka (bukan saja) negeri-negeri yang menerapkan kebijakan tersebut, namun juga pada negeri-negeri lain. Dan, seberapa besar dampaknya tergantung dari seberapa besar (ketahanan) ekonomi negeri tersebut.
Menyadari tak ada pilihan lain dalam menanggapi situasi krisis dunia saat ini, Presiden Brazil, Luiz Inacio da Silva, dalam pertemuan Menteri-menteri Keuangan dan Bank Central G20 8 November 2008 lalu, menyerukan pembentukan suatu arsitektur keuangan dunia baru, untuk meningkatkan kontrol atas pasar.
Betapa tidak, di tahun 2000 saja, jumlah transaksi harian penjualan mata uang asing (yang lansung bisa disediakan dan belum termasuk operasi-operasi keuangan tambahan) sudah mencapai US $ 1,5 trilyun, empat kali lipat lebih besar dibandingkan jumlah total ekspor dunia dalam satu tahun, yang �hanya� sekitar US $ 6.5 trilyun. Betapa luar biasa besarnya jumlah transaksi moneter yang tak berkaitan dengan pengembangan tenaga produktif dan produktivitas riil tersebut.
Menyelamatkan Tenaga Produktif Dunia
Sepanjang kehidupan manusia, baru sekarang ini lah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai titik yang begitu luar biasa. Padahal baru 20% penduduk dunia yang dapat berkontribusi maksimal dalam kemajuan itu. Bayangkan apabila 80% lainnya juga memiliki akses yang sama, tentu saja potensi kemajuan tersebut akan lebih mengangumkan, karena seluruh sumber daya manusia, alam, dan teknologi dimiliki dan didayagunakan oleh seluruh umat manusia untuk peningkatan kemajuan dunia.
Kapitalisme sudah menghancurkan peluang kemajuan tersebut karena membiarkan 80% umat manusia tak memiliki akses terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok, air bersih, makanan sehat, pengetahuan dan pekerjaan produktif. Membiarkan 77 negeri tidak terindustrialisasi; menjeratnya dengan hutang tak berkesudahan; menyedot sumber-sumber bahan mentahnya. Soekarno mengibaratkannya sebagai �Nyai Blorong� alias ular naga. Kepala naga itu, menurutnya, berada di Asia dan sibuk menyerap kekayaan alam negara-negara terjajah. Sementara tubuh dan ekor naga itu ada di Eropa, menikmati hasil serapan tersebut.
Selama dua puluh tahun menjadi laboratorium bagi model kebijakan semacam ini, di tahun 2003, lebih dari 70% rakyat Amerika Latin (AL) hidup dalam kemiskinan�dengan ukuran pendapatan $5/hari, dan 40%-nya (dengan ukuran pendapatan $2/hari) hidup melarat. Tak hendak menunggu lebih lama lagi, dengan berbagai derajat perlawanannya, mayoritas rakyat Amerika Latin melancarkan perlawanan sengit dan mulai menyelamatkan tenaga produktifnya dari kehancuran akibat kapitalisme yang rakus. Proyek ini lah yang, oleh Hugo Chavez Friaz, Presiden Republik Bolivarian Venezuela, disebut sebagai Sosialisme Abad 21.
Proyek tersebut melanjutkan keberhasilan Revolusi Kuba, kegagalan Revolusi Sandinista dan Unidad Popular Chile di abad 20 lalu. Ditandai oleh berbagai pergolakan sengit yang terjadi antara lain di: Venezuela tahun 2001 dan 2002 (menggagalkan boikot para kapitalis minyak dan kudeta terhadap Ch�vez yang disponsori AS); Argentina (2001); Peru (2002); Bolivia pada tahun 2000, 2003 dan 2005; dan Ekuador pada tahun 2000 serta 2005. Dalam waktu sepuluh tahun, empatbelas presiden telah disingkirkan oleh pergolakan rakyat tersebut. Jumlah ini hanya mewakili ribuan aksi lainnya yang terjadi di seluruh AL yang, dalam kurun waktu belakangan, diiringi dengan kualitas tuntutan yang terus meningkat.
Proyek-proyek penjajahan modal AS mulai dikalahkan di Venezuela dan Bolivia. Perlawanan rakyat berhasil menggagalkan rencana dominasi AS lewat ALCA (Kawasan Perdagangan Bebas Amerika-FTAA) di Mar del Plata, Argentina (2006), mengalahkan dua kudeta yang diskenariokan AS di Venezuela (2002), melawan �Plan Colombia� (hingga kini), bersolidaritas melawan embargo ekonomi terhadap Kuba selama lebih dari 40 tahun oleh AS.
ALBA: Alternatif Tatanan Ekonomi Dunia
Dalam sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Parlemen Amerika Latin (Parlatino) ke-5 mengenai Kewajiban Sosial dan Integrasi Amerika Latin, di Caracas, Venezuela, 25-27 Mei 2006 lalu, pada sesi terakhir mengenai �Perjuangan Rakyat Dunia dan Syarat-syarat Pembangunan sebuah Dunia Baru�, saya disuguhkan semangat heroisme yang luar biasa dalam melawan dominasi imperialisme di AL.
Forum menyepakati bahwa sebuah model ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi baru yang sosialis adalah syarat bagi konsistensi pemenuhan hak-hak mendesak rakyat. Model ini menghendaki produktivitas rakyat yang tinggi, teknologi yang modern, dan sumber energi yang murah, massal, ekologis dan terperbarukan. Untuk mencapainya, tentu saja, kerjasama-kerjasama ekonomi dunia kuno dalam berbagai pakta pasar bebas, melalui lembaga-lembaga semacam WTO, IMF, Bank Dunia, sudah tak bisa diteruskan lagi.
Kerjasama ekonomi internasional yang baru adalah kerjasama demokratik berlandaskan prinsip-prinsip saling melengkapi (dari pada berkompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerja bersama (daripada eksploitasi) dan penghormatan kedaulatan rakyat (menggantikan kekuasaan korporasi) bagi kemajuan tenaga produktif negeri-negeri miskin. Kerjasama ini juga menghendaki sebuah demokrasi baru berdasarkan partisipasi langsung rakyat dari bawah, dengan berbagai mekanismenya, agar semua orang diberikan kesempatan berfikir, berpendapat, berkreasi,bahkan melawan untuk kemajuan negeri.
Atas dasar semangat tersebutlah ALBA (Alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin) dibentuk oleh Venezuela dan Kuba, disusul dengan bergabungnya Bolivia, Nikaragua, dan Ekuador, untuk melawan hegemoni AS dan lembaga-lembaga Bretton Woods. Walau banyak kekurangan dan gangguan di sana sini, sebagai sebuah rencana alternatif, proyek ini patut mendapat perhatian.
Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kerja sama ala ALBA, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba; pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian [bahkan sudah mencapai pertukaran bijih besi kualitas tinggi (ore) dan bauksit dengan nikel]; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal untuk pengembangan energi minyak dan penjualan minyak murah. Kerjasama ini mulai melibatkan Ekuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan Paraguay. Semuanya bertujuan demi kemajuan tenaga produktif dan ekonomi rakyat di AL. Belakangan ini, Venezuela, (bahkan) menyodorkan gagasan untuk memperluas sebagian proyek persatuan Amerika Latin-nya dengan Afrika.
Mayoritas negeri-negeri AL kini sedang melawan penjajahan modal asing dan krisis tak berkesudahaan yang diakibatkannya; sedangkan Indonesia, masih terus mengadaptasi hingga titik darah penghabisan.
* Koordinator Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika Latin (SERIAL) dan anggota Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM).
Tatanan ekonomi dunia [saat ini] hanya mengabdi pada 20% dari penduduk yang ada, dengan mengabaikan, merendahkan, dan menyingkirkan 80% sisanya.
(Fidel Castro Ruz: dalam KTT G77 12 April 2000)
Delapan tahun yang lalu, dihadapan para pemimpin Negara-negara Selatan, yang tergabung dalam Kelompok 77, Fidel Castro Ruz menyatakan �lima puluh tahun lalu, kita dijanjikan � tak akan ada lagi kesenjangan � dijanjikan roti (kesejahteraan) dan keadilan; tapi hingga saat ini, kita, negeri-negeri berkembang, hanya mendapat penderitaan, kelaparan, dan semakin banyak ketidakadilan.
Tatanan keuangan dunia saat ini, yang lahir di Bretton Woods 64 tahun lalu (1944), sebenarnya sudah kadaluarsa sejak 37 tahun lalu�tepat ketika Amerika Serikat (AS) menghentikan jaminan cadangan emasnya terhadap nilai dolar (1971). Karena sistem yang melahirkan institusi-institusi keuangan global semacam Bank Dunia dan IMF ini, didasarkan pada pemberlakuan Standar Penukaran Emas pada sistem keuangan dunia.
Dalam lampiran atas pidatonya tersebut, Castro mengatakan bahwa, faktor bawaan yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dunia, yang menjadi salah satu pilar kebijakan tersebut adalah: liberalisasi tanpa pandang bulu dalam neraca pembayaran dan perhitungan finansial.
Ketidakstabilan tersebut kemudian disebarkan melalui cara (yang disebut) dampak seretan-gerbong (bandwagon efect). Yakni, melalui kekuatan globalisasi pasar modal yang, dengan cara sedemikian rupa, membuat dampak ketidakstabilan tersebut sekonyong-konyong sudah berada di hadapan muka (bukan saja) negeri-negeri yang menerapkan kebijakan tersebut, namun juga pada negeri-negeri lain. Dan, seberapa besar dampaknya tergantung dari seberapa besar (ketahanan) ekonomi negeri tersebut.
Menyadari tak ada pilihan lain dalam menanggapi situasi krisis dunia saat ini, Presiden Brazil, Luiz Inacio da Silva, dalam pertemuan Menteri-menteri Keuangan dan Bank Central G20 8 November 2008 lalu, menyerukan pembentukan suatu arsitektur keuangan dunia baru, untuk meningkatkan kontrol atas pasar.
Betapa tidak, di tahun 2000 saja, jumlah transaksi harian penjualan mata uang asing (yang lansung bisa disediakan dan belum termasuk operasi-operasi keuangan tambahan) sudah mencapai US $ 1,5 trilyun, empat kali lipat lebih besar dibandingkan jumlah total ekspor dunia dalam satu tahun, yang �hanya� sekitar US $ 6.5 trilyun. Betapa luar biasa besarnya jumlah transaksi moneter yang tak berkaitan dengan pengembangan tenaga produktif dan produktivitas riil tersebut.
Menyelamatkan Tenaga Produktif Dunia
Sepanjang kehidupan manusia, baru sekarang ini lah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai titik yang begitu luar biasa. Padahal baru 20% penduduk dunia yang dapat berkontribusi maksimal dalam kemajuan itu. Bayangkan apabila 80% lainnya juga memiliki akses yang sama, tentu saja potensi kemajuan tersebut akan lebih mengangumkan, karena seluruh sumber daya manusia, alam, dan teknologi dimiliki dan didayagunakan oleh seluruh umat manusia untuk peningkatan kemajuan dunia.
Kapitalisme sudah menghancurkan peluang kemajuan tersebut karena membiarkan 80% umat manusia tak memiliki akses terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok, air bersih, makanan sehat, pengetahuan dan pekerjaan produktif. Membiarkan 77 negeri tidak terindustrialisasi; menjeratnya dengan hutang tak berkesudahan; menyedot sumber-sumber bahan mentahnya. Soekarno mengibaratkannya sebagai �Nyai Blorong� alias ular naga. Kepala naga itu, menurutnya, berada di Asia dan sibuk menyerap kekayaan alam negara-negara terjajah. Sementara tubuh dan ekor naga itu ada di Eropa, menikmati hasil serapan tersebut.
Selama dua puluh tahun menjadi laboratorium bagi model kebijakan semacam ini, di tahun 2003, lebih dari 70% rakyat Amerika Latin (AL) hidup dalam kemiskinan�dengan ukuran pendapatan $5/hari, dan 40%-nya (dengan ukuran pendapatan $2/hari) hidup melarat. Tak hendak menunggu lebih lama lagi, dengan berbagai derajat perlawanannya, mayoritas rakyat Amerika Latin melancarkan perlawanan sengit dan mulai menyelamatkan tenaga produktifnya dari kehancuran akibat kapitalisme yang rakus. Proyek ini lah yang, oleh Hugo Chavez Friaz, Presiden Republik Bolivarian Venezuela, disebut sebagai Sosialisme Abad 21.
Proyek tersebut melanjutkan keberhasilan Revolusi Kuba, kegagalan Revolusi Sandinista dan Unidad Popular Chile di abad 20 lalu. Ditandai oleh berbagai pergolakan sengit yang terjadi antara lain di: Venezuela tahun 2001 dan 2002 (menggagalkan boikot para kapitalis minyak dan kudeta terhadap Ch�vez yang disponsori AS); Argentina (2001); Peru (2002); Bolivia pada tahun 2000, 2003 dan 2005; dan Ekuador pada tahun 2000 serta 2005. Dalam waktu sepuluh tahun, empatbelas presiden telah disingkirkan oleh pergolakan rakyat tersebut. Jumlah ini hanya mewakili ribuan aksi lainnya yang terjadi di seluruh AL yang, dalam kurun waktu belakangan, diiringi dengan kualitas tuntutan yang terus meningkat.
Proyek-proyek penjajahan modal AS mulai dikalahkan di Venezuela dan Bolivia. Perlawanan rakyat berhasil menggagalkan rencana dominasi AS lewat ALCA (Kawasan Perdagangan Bebas Amerika-FTAA) di Mar del Plata, Argentina (2006), mengalahkan dua kudeta yang diskenariokan AS di Venezuela (2002), melawan �Plan Colombia� (hingga kini), bersolidaritas melawan embargo ekonomi terhadap Kuba selama lebih dari 40 tahun oleh AS.
ALBA: Alternatif Tatanan Ekonomi Dunia
Dalam sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Parlemen Amerika Latin (Parlatino) ke-5 mengenai Kewajiban Sosial dan Integrasi Amerika Latin, di Caracas, Venezuela, 25-27 Mei 2006 lalu, pada sesi terakhir mengenai �Perjuangan Rakyat Dunia dan Syarat-syarat Pembangunan sebuah Dunia Baru�, saya disuguhkan semangat heroisme yang luar biasa dalam melawan dominasi imperialisme di AL.
Forum menyepakati bahwa sebuah model ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi baru yang sosialis adalah syarat bagi konsistensi pemenuhan hak-hak mendesak rakyat. Model ini menghendaki produktivitas rakyat yang tinggi, teknologi yang modern, dan sumber energi yang murah, massal, ekologis dan terperbarukan. Untuk mencapainya, tentu saja, kerjasama-kerjasama ekonomi dunia kuno dalam berbagai pakta pasar bebas, melalui lembaga-lembaga semacam WTO, IMF, Bank Dunia, sudah tak bisa diteruskan lagi.
Kerjasama ekonomi internasional yang baru adalah kerjasama demokratik berlandaskan prinsip-prinsip saling melengkapi (dari pada berkompetisi), solidaritas (daripada dominasi), kerja bersama (daripada eksploitasi) dan penghormatan kedaulatan rakyat (menggantikan kekuasaan korporasi) bagi kemajuan tenaga produktif negeri-negeri miskin. Kerjasama ini juga menghendaki sebuah demokrasi baru berdasarkan partisipasi langsung rakyat dari bawah, dengan berbagai mekanismenya, agar semua orang diberikan kesempatan berfikir, berpendapat, berkreasi,bahkan melawan untuk kemajuan negeri.
Atas dasar semangat tersebutlah ALBA (Alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin) dibentuk oleh Venezuela dan Kuba, disusul dengan bergabungnya Bolivia, Nikaragua, dan Ekuador, untuk melawan hegemoni AS dan lembaga-lembaga Bretton Woods. Walau banyak kekurangan dan gangguan di sana sini, sebagai sebuah rencana alternatif, proyek ini patut mendapat perhatian.
Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kerja sama ala ALBA, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba; pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian [bahkan sudah mencapai pertukaran bijih besi kualitas tinggi (ore) dan bauksit dengan nikel]; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal untuk pengembangan energi minyak dan penjualan minyak murah. Kerjasama ini mulai melibatkan Ekuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan Paraguay. Semuanya bertujuan demi kemajuan tenaga produktif dan ekonomi rakyat di AL. Belakangan ini, Venezuela, (bahkan) menyodorkan gagasan untuk memperluas sebagian proyek persatuan Amerika Latin-nya dengan Afrika.
Mayoritas negeri-negeri AL kini sedang melawan penjajahan modal asing dan krisis tak berkesudahaan yang diakibatkannya; sedangkan Indonesia, masih terus mengadaptasi hingga titik darah penghabisan.
* Koordinator Solidaritas Rakyat Indonesia untuk Alternatif Amerika Latin (SERIAL) dan anggota Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM).
Belum ada Komentar untuk "Untuk Arsitektur Ekonomi Dunia yang Baru"
Posting Komentar