Seruan Politik Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin Sumatra Utara
Pernyataan Sikap
Laksanakan UUPA No. 05 Tahun 1960 (Tanah untuk Rakyat)Secara Murni dan Konsekwen!
Kembalikan Tanah Rakyat Sesuai dengan Amanat UUD 1945 & UUPA No. 05 Thn. 1960!
Kelahiran UUPA, merupakan tonggak sejarah hukum agraria yang secara normatif menempatkan petani pada proses pemberdayaan untuk memperoleh kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan terhadap sumber daya tanah. UUPA sebagai rekonstruksi bangunan politik agraria, bertujuan menjamin hak-hak petani atas tanah. Inilah yang seharusnya direnungkan oleh para elite penguasa di negara agraris untuk mengedepankan makna kemerdekaan bagi petani, yakni kuatnya hak atas tanah yang dimilikinya. Dengan dianutnya model pembangunan ekonomi bergaya kapitalis, telah merubah politik agraria dari populis ke kapitalis. UUPA lebih ditafsir untuk menjustifikasi kebijakan yang justru bertentangan dengan UUPA. Politik agraria, telah menempatkan tanah sebagai masalah rutin birokrasi pembangunan. Agrarian reform yang semula untuk menata penguasaan tanah, khususnya hak milik, menjadi berhenti dan seolah-olah UUPA "dipeti-eskan" demi pembangunan.
Di bidang perundang-undangan, dilahirkan produk yang bertentangan dengan UUPA, sehingga muncul berbagai konflik agraria yang menempatkan petani di pihak yang selalu dikalahkan demi kepentingan pembangunan. Bandul kebijakannya, menjadi lebih berat ke politik pemerintah, bukan pembangunan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan adanya intervensi kekuatan imperialisme dalam berbagai bentuk paket kebijakan Neo-liberalisme, bentuk kebijakan pemerintah Indonesia pun telah melahirkan sekian banyak persoalan yang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya maupun hak sipil dan politik.
Keputusan yang berkaitan dengan hal tersebut, dapat dilihat dengan keluarnya beberapa produk peraturan perundang-undangan yang tidak menguntungkan masyarakat bawah, misalnya, UU SDA Nomor 7 Tahun 2004, UU Perkebunan, UU Ketenagalistrikan, Amandemen UU Tata Ruang, UU ketenagakerjaan, privatisasi BUMN yang menyangkut hajat hidup orang banyak, Pencabutan Subsidi Pendidikan, KepMen No. 41 Tahun 2004, SK Menhut 134 2004, Perpres No. 36 tahun 2005, dan aset publik lainnya. Dampak dari beberapa contoh produk kebijakan di atas, sangat jelas akan merugikan rakyat, di tengah ketimpangan demokrasi yang masih diatasnamakan oleh pemerintah untuk menindas rakyatnya. Produk-produk kebijakan tersebut, mengarah pada pengekangan hak-hak rakyat ketimbang menyejahterakan rakyat, terbukanya peluang pemodal sebagai alat penghisap telah dilegalisasikan negara untuk melakukan eksploitasi kekayaan sumber-sumber agraria yang ada, salah satunya adalah tanah. Semua ini telah bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembentukan negara RI yang anti-penjajahan.
Namun, sampai saat ini, realitas dominasi pemerintah dan pemilik modal maupun intervensi asing masih saja menjajah negara Indonesia, dengan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai pelosok penjuru Indonesia. Sebaliknya, posisi petani semakin tidak terjamin hak hukumnya atas tanah apalagi dengan HGU (Hak Guna Usaha) yang mayoritas dimiliki pihak swasta yang masa waktunya sekitar 25-30 tahun, sehingga terjadi ketidakberdayaan petani. Petani dihadapkan pada masalah, yakni sebagai petani tidak berlahan atau berlahan sempit. Akibatnya, sepanjang berlakunya UUPA selalu ditemui adanya sengketa tanah beserta problem sosial yang mengikutinya, sehingga memicu pelanggaran hak-hak atas tanah petani.
Konsentrasi penguasaan tanah oleh perkebunan besar dan pengusaha swasta, menyebabkan tanah pertanian semakin menyempit. Adanya ketimpangan penguasaan aset tanah serta hilangnya potensi pemanfaatan dan pengelolaan dengan tidak diakuinya berbagai bukti-bukti kepemilikan dan penguasaan petani maupun komunitas lokal oleh penguasa, memunculkan berbagai permasalahan dan konflik yang tidak seimbang antara kekuatan petani dengan kekuasaan dan pemodal. Aset petani dalam wujud tanah, tanaman, tempat tinggal tidak pernah diganti sesuai dengan kelayakan kehidupan petani. Belum lagi, efek kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh proses eksploitasi sumber daya alam yang berefek pada kerusakan ekosistem dan lingkungan.
Belum lagi tindakan represif dan intimidasi aparat keamanan dan kekuatan milisi sipil senantiasa memunculkan berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sampai sekarang tidak pernah terselesaikan dalam perjuangan kaum tani dalam mempertahankan haknya atas tanah.. Represivitas/praktek kekerasan terhadap petani dan permasalahan kebijakan yang tidak berpihak terhadap petani sampai sekarang tetap dilakukan oleh Penguasa dengan menggunakan aparatus-aparatusnya, yang merupakan instrumen bagi negara. Hal ini menjadi pemikiran bagi kita semua apabila nantinya persoalan-persoalan pemaksaan kehendak penguasa ingin mengambil tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan yang legal dalam perpres No. 36 Tahun 2005. Tentunya, akan banyak memakan korban dipihak rakyat, khususnya petani yang menggantungkan hidup pada tanah sebagai lahan garapannya.
Maka dalam menyikapi peringatan hari tani yang ke-48 ini, kami dari Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin Sumatera Utara (STN-PRM SUMUT), mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menyerukan Konsolidasi Masyarakat Sipil Demokratik sebagai pilihan, bersama-sama bergerak mewujudkan demokrasi dan pembebasan sejati, serta menuntut:
1. Reforma Agraria, Berikan Hak Rakyat Atas Tanah Sekarang Juga!
2. Selesaikan Sengketa dan Kembalikan Tanah Rakyat Sesuai dengan Amanat UUD 1945 Pasal 33 dan UUPA No.05 Tahun 1960.
3. Pendidikan, Perumahan Layak, dan Kesehatan Gratis Bagi Rakyat
4. Cabut Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) yang Merupakan Biang Kemiskinan di Indonesia.
5. Cabut Pepres No. 36 Tahun 2005
6. Cabut UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
7. Cabut UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
8. Tolak Liberalisasi Sektor Agraria (Privatisasi/Penjualan Aset Negara yaitu Perkebunan BUMN) yang Merupakan Agenda Neo-Liberalisme.
9. Kembalikan Hak dan Kedaulatan Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria.
10. Hentikan Praktek-Praktek Kekerasan yang Dilakukan Negara Terhadap Petani
11. Ukur Ulang dan Cabut HGU Perusahaan Perkebunan yang Bersengketa (merugikan) kesejahteraan Rakyat.
12. Nasionalisasi Industri Asing (Perkebunan) untuk Kesejahteraa Rakyat.
Demikian Penyataan Sikap ini Kami sampaikan kepada semua pihak demi terwujudnya masyarakat adil dan sejahtera sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3 yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.05 Tahun 1960.
Sumatera Utara, 24 September 2008
Komite Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin umatera Utara
(KPW STN-PRM SUMUT)
Ketua,
Mangiring P. Sinaga S.Sos
Tembusan:
1. Presiden RI di Jakarta.
2. Ketua MPR-RI di Jakarta.
3. Ketua DPR-RI di Jakarta.
4. Ketua DPD-RI di Jakarta.
5. Kepala BPN Pusat di Jakarta.
6. Mahkamah Konstitusi di Jakarta.
7. Jaksa Agung di Jakarta.
8. Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta.
9. Menteri BUMN di Jakarta.
10. Menteri Perkebunan di Jakarta.
11. Kapolri di Jakarta.
12. Pangab di Jakarta.
13. Gubernur Sumut di Medan.
14. Kepala BPN Sumut di Medan.
15. Kapolda Sumut di Medan.
16. Pangdam Bukit Barisan di Medan.
17. Ketua DPRD-SU di Medan
18. Kejati-SU di Medan.
19. Seluruh Kepala Daerah Tk. II Prop. Sumut.
20. Insan Pers dan Masyarakat Publik, dan
21. Seluruh Instansi Terkait lainnya.
Laksanakan UUPA No. 05 Tahun 1960 (Tanah untuk Rakyat)Secara Murni dan Konsekwen!
Kembalikan Tanah Rakyat Sesuai dengan Amanat UUD 1945 & UUPA No. 05 Thn. 1960!
Kelahiran UUPA, merupakan tonggak sejarah hukum agraria yang secara normatif menempatkan petani pada proses pemberdayaan untuk memperoleh kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan terhadap sumber daya tanah. UUPA sebagai rekonstruksi bangunan politik agraria, bertujuan menjamin hak-hak petani atas tanah. Inilah yang seharusnya direnungkan oleh para elite penguasa di negara agraris untuk mengedepankan makna kemerdekaan bagi petani, yakni kuatnya hak atas tanah yang dimilikinya. Dengan dianutnya model pembangunan ekonomi bergaya kapitalis, telah merubah politik agraria dari populis ke kapitalis. UUPA lebih ditafsir untuk menjustifikasi kebijakan yang justru bertentangan dengan UUPA. Politik agraria, telah menempatkan tanah sebagai masalah rutin birokrasi pembangunan. Agrarian reform yang semula untuk menata penguasaan tanah, khususnya hak milik, menjadi berhenti dan seolah-olah UUPA "dipeti-eskan" demi pembangunan.
Di bidang perundang-undangan, dilahirkan produk yang bertentangan dengan UUPA, sehingga muncul berbagai konflik agraria yang menempatkan petani di pihak yang selalu dikalahkan demi kepentingan pembangunan. Bandul kebijakannya, menjadi lebih berat ke politik pemerintah, bukan pembangunan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan adanya intervensi kekuatan imperialisme dalam berbagai bentuk paket kebijakan Neo-liberalisme, bentuk kebijakan pemerintah Indonesia pun telah melahirkan sekian banyak persoalan yang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya maupun hak sipil dan politik.
Keputusan yang berkaitan dengan hal tersebut, dapat dilihat dengan keluarnya beberapa produk peraturan perundang-undangan yang tidak menguntungkan masyarakat bawah, misalnya, UU SDA Nomor 7 Tahun 2004, UU Perkebunan, UU Ketenagalistrikan, Amandemen UU Tata Ruang, UU ketenagakerjaan, privatisasi BUMN yang menyangkut hajat hidup orang banyak, Pencabutan Subsidi Pendidikan, KepMen No. 41 Tahun 2004, SK Menhut 134 2004, Perpres No. 36 tahun 2005, dan aset publik lainnya. Dampak dari beberapa contoh produk kebijakan di atas, sangat jelas akan merugikan rakyat, di tengah ketimpangan demokrasi yang masih diatasnamakan oleh pemerintah untuk menindas rakyatnya. Produk-produk kebijakan tersebut, mengarah pada pengekangan hak-hak rakyat ketimbang menyejahterakan rakyat, terbukanya peluang pemodal sebagai alat penghisap telah dilegalisasikan negara untuk melakukan eksploitasi kekayaan sumber-sumber agraria yang ada, salah satunya adalah tanah. Semua ini telah bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembentukan negara RI yang anti-penjajahan.
Namun, sampai saat ini, realitas dominasi pemerintah dan pemilik modal maupun intervensi asing masih saja menjajah negara Indonesia, dengan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM di berbagai pelosok penjuru Indonesia. Sebaliknya, posisi petani semakin tidak terjamin hak hukumnya atas tanah apalagi dengan HGU (Hak Guna Usaha) yang mayoritas dimiliki pihak swasta yang masa waktunya sekitar 25-30 tahun, sehingga terjadi ketidakberdayaan petani. Petani dihadapkan pada masalah, yakni sebagai petani tidak berlahan atau berlahan sempit. Akibatnya, sepanjang berlakunya UUPA selalu ditemui adanya sengketa tanah beserta problem sosial yang mengikutinya, sehingga memicu pelanggaran hak-hak atas tanah petani.
Konsentrasi penguasaan tanah oleh perkebunan besar dan pengusaha swasta, menyebabkan tanah pertanian semakin menyempit. Adanya ketimpangan penguasaan aset tanah serta hilangnya potensi pemanfaatan dan pengelolaan dengan tidak diakuinya berbagai bukti-bukti kepemilikan dan penguasaan petani maupun komunitas lokal oleh penguasa, memunculkan berbagai permasalahan dan konflik yang tidak seimbang antara kekuatan petani dengan kekuasaan dan pemodal. Aset petani dalam wujud tanah, tanaman, tempat tinggal tidak pernah diganti sesuai dengan kelayakan kehidupan petani. Belum lagi, efek kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh proses eksploitasi sumber daya alam yang berefek pada kerusakan ekosistem dan lingkungan.
Belum lagi tindakan represif dan intimidasi aparat keamanan dan kekuatan milisi sipil senantiasa memunculkan berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sampai sekarang tidak pernah terselesaikan dalam perjuangan kaum tani dalam mempertahankan haknya atas tanah.. Represivitas/praktek kekerasan terhadap petani dan permasalahan kebijakan yang tidak berpihak terhadap petani sampai sekarang tetap dilakukan oleh Penguasa dengan menggunakan aparatus-aparatusnya, yang merupakan instrumen bagi negara. Hal ini menjadi pemikiran bagi kita semua apabila nantinya persoalan-persoalan pemaksaan kehendak penguasa ingin mengambil tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan yang legal dalam perpres No. 36 Tahun 2005. Tentunya, akan banyak memakan korban dipihak rakyat, khususnya petani yang menggantungkan hidup pada tanah sebagai lahan garapannya.
Maka dalam menyikapi peringatan hari tani yang ke-48 ini, kami dari Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin Sumatera Utara (STN-PRM SUMUT), mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menyerukan Konsolidasi Masyarakat Sipil Demokratik sebagai pilihan, bersama-sama bergerak mewujudkan demokrasi dan pembebasan sejati, serta menuntut:
1. Reforma Agraria, Berikan Hak Rakyat Atas Tanah Sekarang Juga!
2. Selesaikan Sengketa dan Kembalikan Tanah Rakyat Sesuai dengan Amanat UUD 1945 Pasal 33 dan UUPA No.05 Tahun 1960.
3. Pendidikan, Perumahan Layak, dan Kesehatan Gratis Bagi Rakyat
4. Cabut Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) yang Merupakan Biang Kemiskinan di Indonesia.
5. Cabut Pepres No. 36 Tahun 2005
6. Cabut UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
7. Cabut UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
8. Tolak Liberalisasi Sektor Agraria (Privatisasi/Penjualan Aset Negara yaitu Perkebunan BUMN) yang Merupakan Agenda Neo-Liberalisme.
9. Kembalikan Hak dan Kedaulatan Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria.
10. Hentikan Praktek-Praktek Kekerasan yang Dilakukan Negara Terhadap Petani
11. Ukur Ulang dan Cabut HGU Perusahaan Perkebunan yang Bersengketa (merugikan) kesejahteraan Rakyat.
12. Nasionalisasi Industri Asing (Perkebunan) untuk Kesejahteraa Rakyat.
Demikian Penyataan Sikap ini Kami sampaikan kepada semua pihak demi terwujudnya masyarakat adil dan sejahtera sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3 yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.05 Tahun 1960.
Sumatera Utara, 24 September 2008
Komite Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin umatera Utara
(KPW STN-PRM SUMUT)
Ketua,
Mangiring P. Sinaga S.Sos
Tembusan:
1. Presiden RI di Jakarta.
2. Ketua MPR-RI di Jakarta.
3. Ketua DPR-RI di Jakarta.
4. Ketua DPD-RI di Jakarta.
5. Kepala BPN Pusat di Jakarta.
6. Mahkamah Konstitusi di Jakarta.
7. Jaksa Agung di Jakarta.
8. Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta.
9. Menteri BUMN di Jakarta.
10. Menteri Perkebunan di Jakarta.
11. Kapolri di Jakarta.
12. Pangab di Jakarta.
13. Gubernur Sumut di Medan.
14. Kepala BPN Sumut di Medan.
15. Kapolda Sumut di Medan.
16. Pangdam Bukit Barisan di Medan.
17. Ketua DPRD-SU di Medan
18. Kejati-SU di Medan.
19. Seluruh Kepala Daerah Tk. II Prop. Sumut.
20. Insan Pers dan Masyarakat Publik, dan
21. Seluruh Instansi Terkait lainnya.
Belum ada Komentar untuk "Seruan Politik Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin Sumatra Utara"
Posting Komentar